Karya fan fiction ini adalah lanjutan dari JKT48 Novel part-part sebelumnya, yaitu part 1, part 2, part 3, part 4, part 5, part 6, part 7, dan part 8. JKT48 Novel diterbitkan di JKT48 Fanblog atas kerjasama dengan fanpage JKT48 NOVEL yang dikelola oleh teman kita Chikafusa Chikanatsu.
Follow juga @JKT48fanfiction untuk membaca cerita seru lainnya!
Dua part terakhir season 1
''Siapa nama kamu?'' Tanya Sonya.
Wajahnya begitu segar dan simetris. Kecantikannya merupakan perpaduan antara tulang pipi yang tinggi, hidungnya mancung, matanya lebar seperti anak kecil yang tampak keheranan, bibirnya penuh dengan lekukan di tengah, terlebih jika ada seorang pria yang melihatnya, seperti ingin segera menerjangnya dengan nafsu, senyumannya sungguh indah, ada sedikit kempotan disebelah kanannya, ditambah dagu yang mungil serta sepasang telinga yang kecil. Rambut halus yang selebih bahu sengaja ia lepas, membuat para wanita iri jika melihatnya. Dipasangkannya sebuah bando berwarna Hijau di kepalanya, sungguh sempurna! Membuat semua pria ingin segera memilikinya.
''Namaku...Shiva Lestari.'' kata Shiva sambil menyodorkan tangannya pada Sonya. Mereka saling jabat tangan, kecuali Shania. Ia masih belum mau menerimanya. Tetapi sikap juteknya Shania tidak membuat hati Shiva terluka. Ia sudah terbiasa di perlakukan seperti itu sebelumnya. Shiva ingin sekali memberi kesan layaknya wanita ceria, polos dan penyabar didepan teman teman barunya dia. Sebelumya siang itu, Shiva menghabiskan semua hartanya hanya untuk mempercantik dirinya. Zaman sudah semakin modern, tidak perlu membutuhkan waktu yang lama jika mereka yang ingin tampil 'Wah'. Shiva ingin sekali memulai hidup yang baru. Rasa keputusasaan berusaha ia buang sebisa mungkin. Dipandanginya wajah Shania, dan dilontarkannya senyuman manis tanpa henti. Langkah kakinya berjalan mendekati Shania. Mereka saling pandang memandang. Shiva melangkah lagi, kurang lebih 30cm jarak diantara mereka, jika Shiva melanjutkan langkahnya, mungkin mereka akan berbenturan. Shania mendelik keheranan. Sebenarnya apa mau dia?
Sonya serta Cleo yang berada disebelahnya pun wajahnya penuh tanya.
Tidak tanggung tanggung, Shiva melejit memeluk Shania. Ia mendekatkan bibirnya ke telingan Shania seraya berkata. ''Aku...Menyukaimu.'' Desisnya.
Shania tampak keheranan. Setelah sikapnya buruk terhadap Shiva, kenapa tingkahnya malah sebaliknya. Tidak ada rasa kebencian yang aku rasakan di hatinya. Kenapa wanita ini begitu aneh. Sungguh, ini kejadian yang pernah aku lihat dan bahkan aku rasakan sendiri. Hatinya bagaikan terbuat dari batu yang tidak bisa di pecahkan, setelah sikapku yang tidak mengenakkan padanya, kenapa ia malah memelukku seperti ini. Seharusnya ia kesal, marah atau mungkin jengkel. Itulah sikap yang lebih masuk akal, kata Shania dalam hati.
Shiva terus memeluk erat Shania sampai sampai Shania sulit bernafas. Shania bergidik, ia merasa tidak nyaman. Sesegera itu pula shania mendorong Shiva dengan kuat hingga Shiva terjatuh. Melihat itu, Cleo segera membangunkan Shiva.
''Shania! Kenapa kamu kasar sekali?'' bentak Cleo.
''Jangan dekat dekat denganku.'' kata Shania pada Shiva.
''Aku minta maaf. Aku harap kita bisa berteman dengan akrab.'' sahutnya.
***
Melalui kaca kamarnya yang setengah berdebu itu, Ayu terdiam melamun. Masih ada waktu kurang lebih dua puluh menit untuknya berangkat ke sekolah. Ayu mengamati anak anak remaja dibawah sana.
Mereka semua berangkat sekolah bersama sama. Bercanda, memberi pendapat satu sama lain, berceloteh bersama, bahkan terkadang tinggal besama. Aku ingin menjadi bagian dari mereka. Aku begitu kesepian. Adakah seseorang yang mampu membuatku tertawa?
Ayah, aku rindu kecupanmu di pagi hari. Aku rindu kehadiranmu disisi ku. Aku ingin bersenang senang lagi bersama Ayah, aku ingin diantarkan ke sekolah bersama Ayah, aku ingin makan diluar bersama Ayah, aku ingin pergi piknik bersama Ayah.
Sehari, sehari saja aku ingin itu semua. Aku ingin didikanmu jika aku berbuat salah, aku ingin teguranmu yang penuh perhatian padaku, aku sangat butuh bimbinganmu. Ayah, apa ayah bisa rasakan kehidupanku yang sekarang ini? Aku ingin Ayah menyarankan Ibu untuk selalu ada disisi ku, mengurusiku dan menemaniku saat aku menangis. Kenyataannya, Ibu hanya selalu memikirkan pekerjaannya. Jarang sekali ia melirikku sama sekali, Memberi nasehat atau teguran darinya agar aku merasa nyaman.
''Sayang, Ibu berangkat dulu. Jangan lupa sarapan dulu kalau mau berangkat sekolah. Ada nasi uduk di meja.'' seru Ibunya dari ruang tamu yang sudah berpakaian rapih.
Ayu tidak berbicara, ia hanya menggangguk tanpa menoleh. Waktu berangkat sekolah masih lama, Sedangkan ia hanya berdiam diri. Lama lama terasa bosan. Ayu pun mengambil ponselnya yang tergeletak di meja, ia berniat mengirimkan pesan singkat pada Melody.
''Pagi, kakak. Lagi apa, kak? Apa kakak udah sarapan?''
Lima menit lamanya Ayu menunggu balasan, dan akhirnya Melody membalasnya.
''Ia nih lagi sarapan, udah gitu mau berangkat ke sekolah. Kamu sendiri bagaimana?''
Ayu kegirangan. Respon Melody sangat membuat Ayu senang.
''Aku belum sarapan, kak. Hati hati ya kak berangkat sekolahnya.hehe.''
''Waduh, kenapa belum sarapan? Nanti di kelas perut kamu bunyi bunyi lagi. Haha. Sarapan, ya. Biar belajarnya nyaman dan gampang di serap otak.''
Ayu senyam senyum, lagi lagi Melody merespon pesannya itu. Apalagi isi pesannya Melody mencemaskan dirinya. Tentu Ayu tambah gembira. Ayu ingin sekali cepat akrab dengan Melody, seperti layaknya dia dengan Dhike.
''Iya, makasih.'' balasnya.
Sesegera itu pula Ayu berjalan ke meja makan. Ia memakan sarapannya dengan lahap.
''Apa aku memberikan hadiah saja ya pada kak Melody? Mungkin kakak akan senang. Dan juga berfikir bahwa aku memikirkan dirinya.'' kata Ayu sambil mengunyah.
Umur muda seperti Ayu memang gampang sekali girang setelah mendapat pujian. Ditambah lagi rasa kesepiannya yang begitu besar, seseorang yang akan menemaninya tentu Ayu merasa terhibur, bahkan dari pesan lewat ponsel sekalipun.
Di sebuah taman yang tidak jauh dari tempat sekolah, Beby, cindy dan Delima sedang berkumpul bersama. Pelajaran baru saja berakhir, biasanya mereka bertiga selalu ngerumpi setelah pulang sekolah. Dalam benaknya Beby terus berfikir tentang audisi itu. Betapa senangnya, Beby akhirnya di izinkan oleh orang tuanya untuk ikut dalam audisi itu.
Aku mendengar dengan telingaku sendiri. Tak bisa aku katakan, betapa senangnya aku.
Ya, memang begitu mengejutkan bagiku. Aku akan berusaha, Ibu. Ibu harus melihat dengan mata Ibu sendiri, bahwa aku yang akan meneruskan bakat Mu. Aku rasa, ini adalah awal untuk ku untuk bisa meraih mimpi. Meraih mimpi yang sebenarnya.
Aku akan berusaha keras untuk mendapatkannya. Dan... ini juga merupakan awal yang begitu menyedihkan, dimana semua sahabat sahabat ku akan bersaing dan saling mendahului.
''Beb?'' panggil Cindy yang berada disebelahnya.
''Ya?''
''Kenapa diam aja?''
Beby memandang wajah Cindy serius. ''Cin, apa kita akan selalu menjadi sahabat selamanya? Bukan, maksud ku kita bertiga. Kita akan menjadi sahabat selamanya, kan? Aku sangat senang berteman dengan kalian. Walau kita sering bertengkar, saling mengejek atau mungkin saling iri. Tapi, aku tetap mengganggap kalian sahabat terbaikku. Aku gak pernah membenci kalian sedikit pun.''
''Kamu ini ngomong apa, sih? Aku masih gak ngerti. Kalau soal pertengkaran diantara sahabat itu kan bukan hal yang aneh. Semuanya pasti pernah merasakannya. Nanti juga ujung ujungnya baikan lagi. Itulah remaja!'' sahut Cindy.
Beby tertegun sebentar. Dalam keadaan seperti yang sekarang ini pasti tidak semudah itu alasan Cindy diterima. Tapi yang sekarang ini berbeda.
''Kamu gak mengerti juga dengan omongan ku, Cin?''
''Lalu, gimana caranya agar aku mengerti?''
''Seharusnya kamu bisa!''
''Mana bisa!''
''Mungkin saja. Kalau kamu memperdalam pikiranmu lagi tentang ucapanku tadi.''
''Caranya?''
Beby tampak emosional. ''Tentang audisi itu!''
''Memangnya kenapa? Oya, apa orang tua kamu udah ijinin kamu?'' tanya Delima.
Beby manggut manggut.
Wajah Delima menampakkan keingintahuan dan harapan yang amat sangat. ''Yang bener? Gimana caranya kamu membujuk orang tua kamu?''
Beby ingin menjelaskannya, namun ragu ragu. Ia menatap wajah Delima yang amat serius dan menanti omongannya itu. Begitu pula dengan Cindy, semuanya keheranan dan segera ingin tahu, membuat Beby terdesak.
Terpaksalah Beby menceritakan perihal orang tuanya. ''Dulu... orang tuaku pernah mengikuti kontes audisi juga sama kayak kita. Ibu serta teman temannya sangat bersaing kuat. Diantara Ibu dan ketiga orang temannya itu, ada dua orang yang gak lolos. Sejak saat itulah Ibu dan kedua temannya itu saling bermusuhan. Mereka kesal dan iri. Dulu Ibuku masih duduk dikelas tiga SMA. Pertengkaran semakin menjadi jadi saja diantara mereka. Ibu selalu dijauhkan oleh teman teman yang gak lolos dalam audisi itu. Mereka sirik! Kenapa manusia mempunyai hati yang begitu kotor. Ibuku gak salah apa apa, kenapa mereka menjauhinya. Ibu terus memikirkan itu setiap harinya. Ia rindu dengan sikap teman teman lamanya yang dulu. Yang begitu penuh perhatian, disaat susah teman selalu membantu, disaat senang teman akan selalu berbagi. Ibu rindu dengan semua itu.''
''Lalu?'' kata Delima semakin penasaran.
''Ibu keluar dari member grup musiknya itu. Ibu ingin kembali seperti dulu, bergurau bersama sama temannya, berceloteh, berbagi kesenangan dan kesedihan bersama. Ibu terpaksa melakukannya. Ikatan teman memang begitu kuat. Apapun profesi atau gelar seseorang, gak ada gunanya jika ia merasa kesepian. Jadi, apa kalian sudah mengerti maksud ku?''
Delima protes. ''Ending macam apa itu? Aku gak suka cerita akhirnya. Kenapa Ibu rela meninggalkan impiannya itu hanya demi seorang teman? Apa mencari teman baru itu susah?''
Beby menoleh ke arah Cindy. Ia ingin tahu seperti apa pendapat Cindy tentang cerita itu. Cindy tunduk terdiam. Sepertinya ia sedang menyimpulkannya dalam dalam. Dan akhirnya Cindy menegakkan kepalanya, wajahnya amat serius.
''Aku akan berjanji. Jika aku gak lolos dalam audisi itu, aku akan tetap menjadi sahabat kalian.''
Beby tersenyum senang mendengar perkataan Cindy. ''Aku juga. Gimana dengan kamu?'' tanyanya pada Delima.
''Iya aku juga. Sebagai teman yang baik Aku gak berhak melarang teman teman ku untuk meraih mimpinya, kan? Kita akan selalu menjadi sahabat.''
Mereka bertiga tersenyum gembira. Untung mereka semua bisa memahami situasinya.
Tidak lama suasana gembira berlangsung, ada seorang wanita yang menghampiri mereka. Wajah wanita itu tampak kebingungan. Ia menengok ke kanan dan kiri. Seperti sedang tersesat. Dan akhirnya wanita itu menghampiri mereka bertiga.
''Sumi masen, Koko kara eki made dono kurai no kyori ga arimasuka?'' tanya wanita itu. Sepertinya ia keceplosan, ia sadar, bahwa ini Indonesia bukan Jepang. Tentu Cindy, Beby serta Delima tampak keheranan mendengarnya.
Di ulangkannya lagi pertanyaan si wanita itu. ''How far is it from here to station?''
''o0ooh...'' sorak mereka bertiga bersamaan sambil manggut manggut.
''Bilang dong dari tadi. Kira kira satu kilometer. Kamu ikuti jalan ini, lalu kamu belok kanan dan nanti kamu akan melihat bangunan besar, nah itulah stasiunya.'' sahut Delima.
Wanita itu malah bertambah bingung. Matanya terbuka lebar tampak keheranan. ''In english, please. I come from Japan.''
''O0oh... Ngomong dong dari tadi.'' lagi lagi mereka bersorak bersamaan.
''You from Japan? Sugoi! Sugoi!'' jahil Delima.
''Yes, sugoi is dahsyat in bahasa.'' sahut wanita itu.
Delima kagum. ''You can speak bahasa too? Cool!''
''heh Delima! Dia nanya jalan tuh, kamu malah main mainin dia.'' kata Beby.
''Hehe, kapan lagi bisa bercakap dengan orang luar. Sekarang giliran kamu sana yang jelasin sama dia.''
Beby berkata. ''Certainly, you follow this way and then you turn to the right and you will see a big building. That is the station.''
''Oh, thank you very much. Arigato gozaimasu. Anata wa totemo shinsetsu desu.''
''You are welcome. Do-itashimashie.'' sahut Beby.
''Mata ai masho.'' seru wanita itu sambil mendadahkan tangannya.
''Itte irashai!'' teriak Beby.
Delima yang ada disebelahnya merasa kagum dengan Beby. ''Hebat kamu, beb. Kamu bisa bahasa Jepang juga?''
''Hanya sedikit, kok.''
''Ah, aku juga bisa kalau cuma gitu doang.'' sinis Cindy.
''Kalau kamu bisa kenapa gak kamu jawab tadi?'' balas Beby.
''Aku lagi malas aja.''
''Masa sih? Yang bener?''
''Iya. Orang aku lagi males ngomong, kok.''
''Ah, sudah jelas bahwa kamu masih dibawah aku.''
Cindy kesal. ''Kata siapa? Enak saja! Jadi kamu membanding bandingkan aku? Apa kamu mau perang bahasa denganku?''
''Ayo, siapa takut!''
Delima yang hanya menjadi penonton perdebatan itu merasa kesal. Lagi lagi mereka mulai bertengkar dengan kepintarannya itu.
''Hei sudah sudah! Baru aja tadi kita membicarakan tentang persahabatan, secepat itukah kalian melupakannya?''
''Itu beda lagi urusannya!'' teriak bareng cindy serta Beby pada Delima.
''Kenapa kalian selalu kompak sekali!'' balas Delima berteriak.
Waktu audisi hanya tinggal empat hari saja. Rasa gelisah terus menghantui Jeje. Dengan sedikit gemetar ia memberanikan dirinya untuk menemui kedua orang tuanya yang lagi bersantai di ruang tamu. Suasana yang tepat untuknya berbincang. Dipegangnya sebuah selembaran brosur di tangannya. Jeje menatapi Ayahnya itu. Hatinya sungguh tidak tenang, ia masih belum berani mengatakannya. Dengan sedikit paksaan, ia menyodorkan brosur yang di pegangnya itu pada Ayahnya. Segera itu pula Ayahnya membaca isi dari selembaran itu.
Lima menit lamanya Ayahnya itu merenungkannya. Sedangkan istrinya yang berada disebelahnya merasa penasaran dengan isi brosur itu. Kemudian dibacanya juga brosur itu. Jeje masih berdiri tegak menunggu jawaban dari orang tuanya. Dilihatnya wajah Ayahnya yang panas itu, buru buru Jeje membuang wajahnya.
''Apa alasannya? Jelaskan sama Ayah.''
Jeje tertegun sejenak. lalu Wajahnya menjadi sangat serius. Jeje berniat mengatakan semua yang ada di hatinya. Ia akan berusaha membuat Ayahnya paham tentang dirinya. Jeje menarik nafas, kemudian ia mulai berkata. ''Itu impianku! Sejak kecil aku sangat menyukai bidang ini. Ayah pernah mengatakan bahwa aku berbakat akan hal itu. Apa Ayah lupa?''
Ayahnya terdiam. Memang benar sejak saat itu Ayahnya pernah mengatakannya. Tapi bukan ini yang dirinya maksud. Mengikuti audisi itu hanya akan mengganggu jadwalnya, pikirnya.
''Ayah, apa aku boleh ikut?'' tanyanya sekali lagi.
''Kenapa kamu ingin sekali mengikutinya?'' balik Ayah bertanya menyelidik.
''Aku...aku ingin sekali melakukannya. Aku ingin menjadi dancer yang dikagumi banyak orang. Aku akan memperlihatkannya pada mereka. Ini merupakan impian yang ingin aku raih, Ayah. Bolehkah aku melakukannya? Kali ini saja.''
''Bagaimana kalau kamu gagal? Apakah kamu akan depresi? Mengurung dikamar? Gak mau makan? Apa itu yang nanti akan kamu lakukan?''
''Gak! Aku gak akan kayak gitu, Yah.'' Jeje memperjelas.
''Yasudah!'' seru Ayahnya itu tiba tiba.
Jeje tercengang, apa maksud perkataan Ayahnya itu? Apa dia mau mengabulkannya? ''Ya?''
''Temuilah Shania. Kamu Ayah izinkan.''
Jeje terperanjat senang. ''Makasih, Ayah.''
''Bersikap baiklah pada Shania. Dialah yang sudah membujuk Ayah untuk mu ikut serta dalam Audisi itu.''
''Ya, Pasti!''
Didalam hati yang paling dalam, Jeje sungguh tidak menyangka bahwa Shania telah membujuk Ayahnya itu. Ia begitu gembira berjalan kembali ke kamarnya, ia pun tidak lupa untuk segera mengucapkan terima kasih pada Shania lewat telepon.
''Tumben, sikap kamu berbeda.'' sindir Ibunya.
''Anak kita sudah dewasa, Bu. Sudah saatnya untuk kita memberinya kebebasan. Sejak kecil hingga sekarang dia tumbuh dengan baik. Apa salahnya kita membiarkan dia untuk meraih mimpinya dengan jalannya sendiri. Kita juga tentu harus mendukungnya.'' kata Ayah.
***
Disaat orang orang tertidur lelap pada malam hari, Ayu justru terbangun. Walau matanya itu sulit sekali dibuka lebar lebar karena ngantuk, Ayu tetap berusaha. Ia segera berjalan ke kamar mandi untuk membasuh mukanya agar rasa ngantuknya hilang. Setelah itu, Ia mengendap ngendap berjalan ke luar kamar apartemennya. Ia tidak ingin kalau Ibunya tahu kalau ia keluar. Ayu juga tidak lupa untuk membawa perlengkapan yang ia butuhkan ke didalam tasnya.
Disekitar lapangan basket tidak ada siapapun, sepi dan tenang. Ruangannya tidak terlalu terang, hanya beberapa lampu saja yang menyala. Kalaupun ada orang yang melihatnya, tidak akan terlihat jelas wajahnya. Ayu mengambil sepatu yang biasa ia pakai untuk berolah raga. Dikencangkannya tali sepatunya, takut takut jika kejadian sebelumnya terulang, dimana ia terjatuh karena menginjak tali yang terlepas itu. Diikatkannya rambutnya yang terurai itu, agar pandangannya tidak mengganggunya.
Ayu melepaskan jacket yang ia kenakan, tubuhnya hanya berlapiskan kaos tipis saja. Walau udara di malam hari sangat dingin, itu tidak membuat Ayu terganggu. Setelah semuanya siap, Ayu mengeluarkan PC tablet dari dalam tasnya. Biasa PC tablet itu ia gunakan untuk memutarkan Video. Diletakkannya tablet itu tepat dihadapannya yang hanya berjarak satu meter saja.
Setelah semuanya siap, Ayu segera menyetel Video yang ada di PC tersebut. Bagaimana dengan suara yang ditimbulkan dari PC tablet tersebut? Bukankah akan mengganggu jika sampai terdengar orang? Maka jawabanya TIDAK! Ayu sudah memikirkan itu sejak awal, ia memakai earphone bluetooth di telinganya.
Beban pikirannya semakin bertambah, sebab waktunya sudah tidak lama lagi. Dia harus memaksakan dirinya agar bisa memuaskan hasilnya.
''Aku harus melakukannya sebisa mungkin. Aku sudah gak tahan lagi hidup kesepian kayak gini. Aku ingin punya banyak teman, di puji dan dikagumi. Rencana ini gak boleh ketahuan oleh Ibu. Maafkan aku, Bu.''
Sesuatu dari dalam irama Video yang Ayu putar itu membuat Ayu bergoyang. Ia terus mengikuti gerakan gerakan dancer yang ada di Video tersebut. Ia mencobanya berulang ulang sampai gerakannya sama percis. Ada nafas kemudaan serta kelincahan yang terpancar dari diri Ayu.
Dari balik pagar yang terbuat dari kawat itu Sendy mengamati Ayu. Jaraknya cukup jauh, kira kira dua puluh meter. Tepat Sendy berdiri memang tidak ada cahaya yang menerangi, membuat Keberadaan Sendy tidak diketahui. Tepat di tangan kanannya ia menggenggam sebuah smart phone dengan berbagai software yang cukup canggih. Software itu membantu sangat Sendy untuk bisa melacak seseorang. Tentu di jaman modern ini teknologi sudah semakin menggila saja. Dilayar kaca smart phone ada sebuah lampu yang berkedap kedip dan berbunyi 'bib bib bib' yang menandakan keberadaan Ayu yang telah berubah. Cara kerja software itu cukup mudah, hanya tinggal mencantumkan nomer ponsel si terkait saja, dengan begitu akan terlacak melalui jaringan GSM. Sebelumya, Sendy mendapatkan nomer Ayu dari salah seorang teman satu kelasnya.
Sudah empat hari Ayu melakukan latihan di malam hari secara diam diam, tentu ekspresi Sendy tidak terlalu menunjukkan wajah yang penuh tanya. Sendy sudah tahu maksud dari Ayu tersebut.
''Hebat! Begitu kesepiannya kah dia sampai sampai rela berbuat sejauh itu?
Membuat tidurku terganggu saja. Aku kira ada apa, tau tau hanya ini saja yang dia lakukan.'' kata Sendy dengan wajah yang sedikit kecewanya itu.
Tiba tiba saja terdengar suara benturan yang cukup kuat. Tepat didepan mata kepala Sendy, Ayu terjatuh. Ia terpeleset dan menyebabkan tangan serta dengkulnya lecet. Sendy mendengar suara tangisan Ayu yang tersedu sedu, entah karena Ayu menangis karena kesakitan atau mungkin karena ia kesal kenapa disaat seperti ini ia sampai terluka dan akhirnya memperhambat latihannya saja. Didalam hati Sendy memang ia merasa tidak tega dan ingin menolongnya, tapi jika sampai itu terjadi, maka Ayu akan merasa curiga padanya. Terpaksa, Sendy hanya bisa terus mengawasinya dari kejauhan.
BERSAMBUNG...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar