Fan Fiction ini adalah lanjutan dari JKT48 Novel Part 1, part 2, part 3, part 4, dan part 5. JKT48 Novel Fan Fiction diterbitkan di JKT48 Fanblog atas kerjasama dengan fanpage JKT48 NOVEL, karya teman kita Chikafusa Chikanatsu. Follow juga JKT48 Novel di Twitter
Tiga jam lamanya Ve menunggu saat yang tepat. Akhirnya pikiran yang membuatnya tidak tenang kini ia keluarkan juga. Di kantin sekolah saat jam istirahat mereka sedang bersama. Di sebelah sudah ada Melody yang setia menemani. Apapun respon yang bakal ia terima pasti ia akan bersikap tegar. Tepat didepan pandangan Ve sudah ada Stella yang siap menantikan apa yang akan diucapkan Oleh Ve. Sekali lagi Ve melirik kagum di wajah Stella bila mengingat keahliannya itu. Stella adalah orang yang sangat berbakat. Akankah dia akan membantuku?
''Senang sekali rasanya kita bisa kumpul kayak gini.'' ucap gembira Stella.
Ve menatap menu, tapi sebetulnya tidak melihatnya, ia mencoba mengumpulkan sebuah kalimat yang benar benar akan diucapkannya. Sedangkan disebelahnya, Melo hanya berdiam diri tidak melakukan apa apa. Niatnya ia hanya ingin menemani Ve. Tetapi, kok sepertinya aku malah menjadi di posisi yang serba salah, pikir nya.
''Kamu mau makan apa?'' tanya Ve.
''Aku sebetulnya gak lapar. Bersama dengan kalian aja itu sudah cukup membuatku senang. Kalau kamu ingin pesan makanan, silahkan. jangan hiraukan aku.'' sahut Stella.
''Kamu harus makan. Aku gak bisa makan kalau ada orang yang memperhatikanku. Setidaknya, kamu beli snack atau minuman. Oke?''
''Ya. Oke. Setidaknya aku harus menghargai kantin ini. Hehe.'' senyum Stella.
Senang rasanya saat Ve melihat Stella yang murah senyum seperti itu. Ia juga orang yang ramah. Apa mungkin ini akan menjadi awal yang baik bagiku berteman dengannya?
''Kalau begitu, biar aku yang pesan makanan saja. Kalian mau makan apa?''
''Hmm, aku pesan bakso mie saja, Mel. Kalau kamu, stella?''
''Aku pesan siomay aja deh.''
''Oke, tunggu, ya. Kalian mengobrol saja dulu. Semangat, Ve.'' sindir Melo dengan nada pelan.
Dipandanginya Stella yang sedang melihat lihat suasana kantin. Dalam hati Ve bertanya tanya sendiri. Apakah aku harus melakukannya sekarang? Kami baru saja berteman. Rasanya tidak sopan jika langsung meminta sesuatu yang tidak ada untungnya bagi dia. Ve membuat keputusan dan berusaha membuat suaranya sebisa mungkin.
''Ngomong ngomong sudah berapa lama kamu menekuni seni tari? Aku sangat kagum saat itu.''
Stella sempat terdiam sementara. Dan ia berkata. ''Aku gak menyangka bakal ada orang yang menanyakan hal itu. Jujur saja, baru kali ini ada teman yang tertarik dengan latar belakangku. Aku udah lama menekuninya, sejak aku kelas tiga SD. Saat itu, sedang ada perlombaan antar kelas, dan semua teman teman ku mempercayai ku. Terpaksa aku menerima latihan untuk menyambutnya. Setelah di pikir pikir, kok aku merasa senang melakukannya. Nah, sejak saat itulah aku mulai menekuninya. Hampir setiap hari sepulang sekolah aku melakukannya. Dan aku merasa senang sampai sekarang.''
Sungguh, jawaban Stella membuat Ve putus asa. Selama itu kah? Apakah aku mampu?
''oh, Begitu...'' singkat Ve.
Ve melanjutkan kalimatnya dalam hati. ''Kenapa jadi seperti ini? Mana semangatku yang semula? Benar, aku gak boleh berhenti sampai disini. Aku harus mencobanya. Aku siap menerima jawaban apapun darinya.''
Ve menarik nafas dalam dalam. Ia mulai melanjutkan perkataannya.
''oya, aku dengar, kamu berencana mengikuti audisi sister group AKB48, ya?''
''Wah, bagaimana kamu bisa tau? Atau jangan jangan, kamu ikut mendaftar juga, ya? Asik, donk. Aku sangat antusias mengikutinya.''
Ve senyam senyum ga karuan. Mungkin pikirnya aku ini sangat mahir dalam hal itu. Tapi kenyataannya...
Ve menjadi tambah malu untuk mengucapkannya.
''Sebenarnya, aku gak jago jago banget dalam hal itu, stell. Tapi, aku malah ingin melakukannya. Sudah ada ratusan orang yang mendaftar sampai saat ini, bukankah itu konyol untukku bersaing dalam orang orang itu.''
''Eh, kata siapa. Semua orang berhak mengikutinya. Kamu harus semangat Jika kamu ingin sekali lolos dalam audisi itu.''
Jawaban Stella terlalu singkat. Belum bisa membuat perasaan Ve tenang. Ve sudah berkata sejauh itu, mau gak mau ia harus melanjutkan kata kata yang masih terpendam di hatinya.
''Apa boleh aku meminta bantuan dari mu?'' ucap ragu Ve.
''Bantuan apa?''
''hmm, latihlah aku!'' teriak Ve tiba tiba.
Stella terdiam. Butuh waktu untuk mencerna perkataan Ve itu. Melihat wajah Ve yang begitu penuh pengharapan, stella menjadi berfikir dua kali.
''Aku sih gak keberatan. Tetapi, aku mau kamu jangan setengah setengah melakukannya. Jika kamu mau melakukannya, lakukanlah sampai akhir. Hanya itu saja yang aku pinta.''
What! Sungguh, jawaban Stella membuat Ve sangat gembira. Tidak disangka sangka, setidaknya ia mau memberikan harapan padaku. Aku pasti tidak akan menyia nyiakan kesempatan ini.
''Aku akan berusaha. Makasih banyak, stell.'' senyum Ve.
''Itu bukan hal yang besar, Ve. Justru aku senang bahwa akan ada teman yang satu tujuan denganku. Masalah diterima akan audisi atau tidak, itu gak terlalu masalah buatku.''
Ve semakin senang saja dengan tanggapan Stella itu.
Tidak lama kemudian, Melody kembali dengan pesanan yang ia bawa di tangannya.
''Wah, makasih ya, Mel.'' senyum stella.
''Iya. Ayo dimakan.''
Sungguh mengherankan betapa Ve bisa berubah ekspresi dalam beberapa menit saja. Ia senyam senyum sendirian. Melody mengira ngira, pasti harapannya dikabulkan oleh Stella. Namun, melo hanya menutup mulutnya. Toh lagipula Melo tidak begitu tertarik dengan percakapan mereka. Disitu peran dia hanya untuk menemani Ve saja.
''Mel, jangan lupa ya nanti kita latihan bersama sama.'' ujar Stella tiba tiba.
Melody yang saat itu sedang mengunyah makanannya menjadi tersedak, ia kaget serta bingung.
''Maksud kamu apa?''
''Emangnya Melo gak ikut, ya? Aku kira kalian...''
''Oh, tentu saja!'' potong Ve.
''Iya, kan Mel?'' tambah Ve sambil mengedipkan matanya.
Melo yang tidak tau apa apa, tentu akan melempar wajah bertanya tanya pada Ve.
''Udah, kamu jawab iya aja.'' bisiknya dengan mencolek colek pinggang Melo.
''Oh, i-iya. Iya.'' sahutnya sambil terbata bata.
Ve hanya cengar cengir disebelahnya.
''Bagus itu! Dengan begitu kita bisa melakukannya bersama sama. Aku udah lama sekali menginginkan hal seperti ini. Senangnya.'' jawab Stella.
Melody hanya bisa manggut manggut. Ia sudah seperti orang yang tersesat, sama sekali tidak tau apa yang mereka bicarakan.
***
Di kelas mereka sedang dilangsungkannya sebuah kuis murid teladan. Biasanya kuis ini selalu dilaksanakan setiap sebulan sekali. Diantara tiga puluh dua murid di kelas, hanya diambil tiga murid teratas saja untuk bersaing mengikuti kuis tersebut. Mereka adalah, Cindy, Beby dan juga Delima. Sudah hampir dua bulan berturut turut Beby menjadi murid teladan di kelasnya. Saingan terberat Beby ada pada teman dekatnya sendiri, yaitu Cindy. Bangku kelas dibuat menjadi tiga barisan dengan masing masing pemimpin tiga orang tersebut dan juga para pengikutnya yang berjumlah rata rata sepuluh orang.
Suasana sangat tegang. Didepan wali kelasnya siap memberikan sebuah pertanyaan. Siapa yang cepat maka ia akan mendapatkan nilai poin sepuluh.
''Semuanya, perhatikan! Setiap pengikut dari masing masing pemimpin boleh membantu pemimpin kalian dalam menjawab soal'' seru wali kelas.
''Iya, Bu.'' sorak semua siswa.
''Perhatikan dengan baik pertanyaan yang akan Ibu berikan. Ini soal matematika bentuk fungsi.''
Kemudian wali kelasnya menuliskan pertanyaannya di papan tulis.
''f(x) = x2 + ax = b, diketahui f(-2) = f(1) = 5. Coba tuliskan bentuk Fungsinya. Yang bisa menjawab cepat angkat tangan.''
Beby menyergap duluan, ia mengangkat tangan lebih dulu.
''Silahkan Beby, maju kedepan.''
Dengan rasa percaya dirinya ia menuliskan jawabanya di papan tulis.
''Dari persamaan diatas diperoleh a = 1 dan b = 3, jadi bentuk fungsinya adalah seperti ini.
f(x) = x2 ax b, dengan a =1, dan b =3
f(x) = x2 x 3.''
Semua Beby tulis dengan cepat. Seperti ada sebuah buku rangkuman di otaknya itu. Luar biasa! Wali kelasnya bertepuk tangan. Diikuti dengan teman teman satu kelompoknya. Sedangkan lawan mainnya, hanya bisa menyorakinnya. Beby kembali ke tempat duduknya. Ia berhasil mendapatkan sepuluh poin. Kalau dikasih soal matematika, Beby lah jagonya.
''Lanjut ke pertanyaan selanjutnya. Pendidikan kewarganegaraan. Apa yang dimaksud konstitusi atau undang undang dasar.''
Cindy dan delima mengangkat tangan bersamaan. Kemudian wali kelasnya menyuruhnya suit. Apes, cindy kalah dalam adu suit dengan delima.
''Apa jawabanmu delima?'' tanya guru.
''Konstitusi atau undang undang dasar adalah seperangkat aturan dasar negara mempunyai fungsi Yang sangat penting dalam suatu negara.'' jawab singkat Delima.
''Hanya itu saja?'' tanya guru.
Delima menggangguk.
''Baik, jawabanmu benar. Tapi Masih kurang sempurna. Karena tadi Cindy mengangkat tangan berbarengan, jadi Ibu silahkan untuk Cindy menambahkannya. Jika benar, kamu berdua akan mendapatkan poin sepuluh.''
''Penyelenggaraan pemerintahan negara harus didasarkan pada konstitusi. Maka undang undang dasar mempunyai kedudukan tinggi dalam peraturan perundang undangan di Indonesia.'' jawab Cindy.
''Benar, nilai kalian bertiga saat ini menjadi seimbang.''
Semua murid antar kelompok saling sorak.
Beby kesal, ia paling benci dengan yang namanya kekalahan.
''Ah, aku juga tau jawaban tadi. Hanya saja aku kalah cepat dalam mengangkat tangan.'' gerutu dalam hati Beby.
''Lanjut ke pertanyaan yang ketiga. Ubah kalimat dibawah ini dari affirmative ke negative.
The nurse had to work in the recovery room.''
Lagi lagi Beby kecolongan. Cindy sudah mengangkat tangan lebih dulu.
''The nurse didn't have to work in the recovery room.''
''Sepuluh poin untuk Cindy.''
Cindy senyam senyum. Ia poinnya lebih unggul dari lainnya. Sedangkan Beby hanya bisa cemberut disebelahnya.
Kediaman Jeje lepas tengah hari. Terlihat begitu banyak para pelanggan yang sudah mengantri untuk mendapatkan semangkok bubur. Kedua orang tuanya terlihat begitu sibuk melayani para pelanggan. Begitu pun dengan Jeje. Ia mondar mandir menuju meja pelanggan untuk mengantarkan bubur. Orang orang terus berdatangan, sehingga nyaris tidak ada ruang lenggang. Rasa bubur yang enak di padukan dengan harga yang murah membuat siapa saja ketagihan untuk menyantapnya.
''Seperti biasa, pak?'' tanya Ayah dengan senyum tipisnya itu.
''Iya. Restoran bapak sungguh beruntung. Bapak punya istri yang patuh dan juga putri yang sangat cantik.'' kagum bapak itu.
''Bapak bisa aja.''
''Bapak juga melayani para pelanggan dengan sangat ramah. Pantas saja pelanggannya bisa sebanyak ini.'' tambahnya.
Ayah menjadi grogi mendengarnya. Iya hanya senyam senyum. Disisi lain ayah sangat senang, ternyata pelanggannya begitu betah dan puas atas nya.
Tepat didepan pintu masuk restoran, Shania sudah menunggu Jeje. Entah dengan tujuan apa dia menemui Jeje. Jeje menoleh dan memandang shania dari kejauhan. Mau diladeni, tetapi Jeje masih sangat sibuk. Apalagi kalau ayahnya melihat juga pasti tidak akan senang. Ayahnya selalu berkata, utamakan para pelanggan. Mau tidak mau Jeje mengacuhkan Shania dan tetap bekerja.
''Jeje, apa yang didepan itu temanmu? Suruh dia masuk.'' kata Ayah.
''T-ta tapi...'' bimbang Jeje.
''Sudah temuilah dia. Gak baik membuat teman kecewa. Bisa saja dia datang dari jauh. Biar Ibu saja yang mengantarkan bubur bubur ini.'' ujar Ayah.
Jeje menggangguk. ''ya.''
Jeje segera menaruh nampan yang ia pegang ke atas meja. Ia mengayunkan kakinya berjalan menghampiri Shania. Shania tersenyum senang saat Jeje mau menghampirinya.
''Hai!''
''Ada apa kamu kesini?'' tanya Jeje.
''Apanya yang ada apa? Tentu aku kemari mau menyeretmu ke tempat latihan.''
''Ternyata kamu belum menyerah juga, ya. Aku kan sudah pernah bilang, bahwa aku gak begitu tertarik dengan audisi itu.'' ujar Jeje seraya berjalan ke luar.
''Eh, kamu mau kemana?''
''Kita bicara diluar.''
Saat mereka sudah berada diluar, Jeje melihat Sonya serta Cleo yang berdiri tepat tidak jauh dari depan restoran. Diangkatnya mata Jeje memandang ke langit. Ia sudah tidak sanggup lagi menjelaskannya. Jeje mengeluh dalam hati, kenapa mereka keras kepala sekali. Tiba tiba saja, Sonya serta Shania tersenyum jahil. Ia berdua menghampiri Jeje dengan memegang tangan Jeje dengan paksa. Setelah itu, mereka menyeretnya berjalan menuntun menuju Mobil Cleo.
Jeje kesal. ''Kalian kenapa, sih?''
''Ini merupakan kesempatan yang sangat besar. Aku tahu betul kamu sangat menginginkannya. Apa salahnya sesekali orang tuamu itu ngertiin kamu. Toh selama ini juga kamu selalu ngertiin mereka. Siapa sih orang tua yang tega menghentikan anaknya untuk meraih mimpinya.'' ucap Sonya seraya menuntun Jeje.
Cleo yang berada dibelakang wajahnya penuh tanya. Apa ini rencana yang akan mereka pakai? Mungkin maksudnya adalah Sonya serta Shania. Sebelumnya, mereka berdua pernah memastikan Cleo, bahwa mereka akan membawa Jeje untuk hadir ke tempat latihan. Tapi bukan begini caranya, pikir nya.
''Hentikan!'' teriak kesal Jeje.
Jeje berontak, ia berusaha melepaskan genggaman tangan Sonya serta Shania itu. Ia tidak percaya bahwa teman temannya bersikap seenaknya saja pada dirinya. Wajahnya sungguh mendung, ia begitu kesal. Jeje menangis, ia begitu kecewa terhadap sahabatnya sendiri.
''Apa benar kalian teman ku? Kita bukan anak kecil lagi. Kenapa kalian begitu keras kepala. Ya, memang benar aku sangat menginginkan Audisi itu. Apa kalian puas? Tapi cara kalian itu yang aku gak suka. Setiap malam aku selalu memikirkannya, tidak, setiap jam nya aku selalu memikirkannya. Aku bingung harus berkata apa pada orang tuaku.'' ucap Jeje dengan berlinangan air mata.
''Yah, dia malah marah.'' bisik sonya pada Shania.
Melihat kekacauan itu, Cleo segera mendekati Jeje. Ia memegang pundak Jeje dengan lembut.
''Jangan nangis, ya. Aku juga gak nyangka akan jadi begini. Mereka semua masih tetap sahabatmu, kok. Mereka hanya ingin membantu mu mengejar mimpimu itu, ya walau caranya memang salah. Aku sangat mengerti posisi kamu saat ini.''
''Jeje, maaf kalau kami membuatmu jadi kesal. Tetapi, bukankah kamu pernah bilang padaku bahwa suatu saat nanti kamu akan menjadi dancer yang dikagumi banyak orang? Mana semangatmu yang waktu itu?'' tegas Shania.
''Sudah, sudah. Kenapa kamu malah manas manasin dia.'' bisik Sonya.
Shania merasa kesal, tujuannya membawa Jeje ke dunia hiburan besamanya telah gagal. Ia langsung mengakhiri percakapannya dan berjalan menuju mobil Cleo.
''Sudah, tak apa. Aku tau niat mu untuk bisa ikut dalam audisi begitu besar. Aku akan memutuskannya, jika kamu berubah pikiran hubungilah aku. Saat ini, pelatih pasti akan menyingkirkan kami. Tapi jika memang seperti itu, aku bisa mencari lain tempat untuk bisa kita bersama sama latihan. Shania merupakan teman yang baik, ia selalu memikirkan kamu. Bahkan, saat pelatih berkata ingin mencari pengganti, ialah yang lebih dulu paling menentangnya...''
''Hei, jangan lupakan aku.'' potong Sonya.
Jeje hanya terdiam. Ia masih menangis tersedu sedu. Sebenarnya ia menangis bukan karena perlakuan Shania atau Sonya, ia hanya ingin Shania untuk tidak terlalu memikirkan impiannya itu.
''Sampaikan maaf ku pada Shania.'' ujar Jeje.
''Dan, maafkan aku ya, Pan.'' tambahnya.
Sonya menggangguk sambil tersenyum. Mereka segera meninggalkan Jeje.
***
Sore itu, Ve dan Melody baru saja pulang dari sekolahnya. Hari ini mereka mendapatkan pelajaran tambahan di kelasnya. Mereka berdua berjalan menuju jalan raya.
''Aku gak menyangka Stella bakal menerima kita.'' kata Melody.
''Ya, aku juga. Walau nanti kita akan menjadi musuh saat audisi, tetapi ia malah mau menyumbangkan keahliannya pada kita. Sudah jelas, dia adalah orang yang baik.''
Tiba tiba saja langkah Ve terhenti. Ia melihat sebuah kaleng sampah tepat didepannya. Ve jengkel.
''argh, tahun sudah sering berganti tetapi masih ada aja yang membuang sampah sembarangan. Seharusnya orang kita meniru kebersihan dari orang luar. Sampah sebesar ini saja masih dibuang ditengah jalan.''
''Yaudah, kamu buang aja kaleng itu ke tempat sampah.''
''Buang katamu? Aku gak mau membuang sampah orang lain.''
Lalu Ve iseng menendang kaleng tersebut. Ah, diluar kendali. Ve menendang terlalu keras hingga kaleng itu melesat kencang terbang di udara. Kaleng itu mengarah ke seorang wanita dan hantaman pun tidak bisa terhindarkan.
Ve sangat panik, disebelahnya Melody malah menertawainya. Wanita yang terkena kaleng itu sebenarnya hatinya sedang tidak baik, ia malah mendapatkan hantaman kaleng. Tentu membuatnya sangat marah. Wanita itu mengelus ngelus kepalanya yang sakit sambil membalikkan tubuhnya dengan wajah emosi. Ia melihat dua orang wanita tepat didepannya dan segera menghampirinya. Rambutnya yang pendek, gayanya yang bertingkah seperti pria membuat Ve merasa takut. Tidak seperti kebanyakan wanita lainnya, wanita ini lebih menyukai memakai pakaian pria dengan style Jepang. Tidak heran jika penampilannya itu mengundang Ve menjadi ketakutan. Apalagi wanita ini cepat sekali emosi. Biasa teman teman dekat rumahnya memanggilnya dengan sebutan multi paras. Ya, wajahnya yang cantik tetapi tidak dengan sikapnya yang lebih mengarah ke pada pria. Walau sikapnya itu menakutkan, tetapi sikap wanita ini sering sekali mengundang tawa, kelakuan yang konyol dan humoris membuatnya gampang sekali berteman dengan siapa saja.
''Siapa diantara kalian yang melakukan ini?'' tanyanya emosi.
Ve ketakutan, biasanya ia mengumpet dibelakang Melo.
''Dia! Dia yang melakukannya!'' jawab Ve sambil menunjuk Melody.
Melody jelas akan kaget. Ia jengkel, padahal Ve lah yang sudah menendangnya. ''Kamu ini gimana. Bukannya tadi kamu yang nendang?'' bisik Melo pada Ve.
''Bantu aku kali ini saja. Aku paling benci bertengkar dengan sesama wanita. Pasti ujung ujungnya saling jambak. Aku gak mau rambut ku jadi kusut.'' bujuk Ve.
''Oh, jadi kamu mau aku yang di jambak oleh wanita itu?''
Ve cengar cengir.
Wanita itu segera menghampiri Melody. ''Benar kamu yang melakukannya?'' tanyanya sambil melototi Melo.
Melo menghela nafas. Ia nyerah dengan sikap Ve yang seenaknya itu. Terpaksa, lagi lagi Melody mengalah.
''Maaf, aku gak lihat ada orang didepanku saat aku menendang tadi.''
''Apa? Menendang katamu?''
''Ya benar. Temanku ini gak lihat tadi. Jadi, tolong maafkan dia, ya?'' selip Ve.
''Diam! Aku gak nanya sama kamu. Jangan suka ikut campur.'' bentak wanita itu.
''Kamu pikir ini lapangan sepak bola, apa? Masih mending kaleng itu mengenai ku, bagaimana kalau mengenai seorang Nenek?'' teriak kesal wanita itu.
''Dia galak banget.'' bisik Ve di telinga Melo.
''aku minta maaf. Kalau kepalamu luka, aku bisa mengobatinya.'' ujar Melo.
''Ya, tolong maafkan temanku ini. Kamu tau, temanku ini bercita cita jadi pemain sepak bola, jadi maklumi saja kalau dia suka menendang benda benda yang ada dihadapannya, iya kan?.'' ngeles Ve sambil menengok ke arah Melo.
Melody malah semakin gregetan dengan ucapan Ve itu.
''Begini saja, aku mau kalian squat jump sebanyak lima puluh kali.''
''Aku juga?'' tanya Ve.
''Ya. Kamu juga.''
''Tapi salahku apa?''
''Kamu selalu ikut campur. Wanita paling benci jika pada saat bicara ada yang motong. Sudah, lakukan saja.''
Ve ngeluh dalam hati. ''Aku juga kan wanita. Seenaknya saja.''
''Sudah turuti aja apa maunya. Sesama wanita gak akan ada habisnya perang adu mulut. Anggap saja kita sedang olah raga.'' bisik Melo.
''Ayo cepat lakukan!'' teriak wanita itu.
Sesegera itupun Ve serta Melo squat jump didepannya. Squat jump mereka mampu mengundang tawa bila seseorang melihatnya. Bagaimana bisa tubuh yang lebih kecil malah mempermainkan orang yang lebih dewasa. Orang orang disekitarnya malah menertawai mereka.
''Aku malu.'' bisik Ve seraya melakukan squat jump.
''Sama, aku juga.''
Dibalik wajahnya yang kesal itu, wanita itu justru termakan suasana, didalam hatinya ia tertawa puas bisa mengerjai orang yang lebih tua.
''Sesekali mencari kesenangan, memang enak mempermainkan orang itu.'' ucapnya.
''Aku udah selesai.'' ucap Ve dengan wajah merahnya itu.
''Oke, masalah kita sudah selesai. Dan kamu! Kamu harus banyak melakukan squat jump agar badanmu itu terlihat indah.'' ejek wanita itu pada Ve.
''makasih saran nya.'' jawab singkat Ve dengan wajah jengkelnya.
''Farish!'' panggil temannya.
''Oh, hai!''
''Kamu kemana saja? Aku udah nunggu daritadi.''
''Iya, maaf. Tadi ada sesuatu lah.''
Wanita itu serta temannya segera meninggalkan Ve dan Melody.
''oh, jadi nama dia Farish. Akan aku masukkan dia ke daftar hitamku.'' seru Ve sambil memandang Farish.
Malam hari, disebuah GOR (gedung olahraga) di pusat kota. Mova serta seorang pelatih bulu tangkis bernama Herman memasuki ruangan pelatihan. Banyak anak remaja didikan herman yang sedang berlatih pada saat itu. Didalam gedung sudah disediakan meja dan kursi khusus untuk seorang dokter. Hari ini tidak ada kegiatan di klinik, orang tua Mova saat itu sedang berhalangan hadir makanya Mova disuruh menggantikan ibunya yang biasa bekerja di tempat itu. Lumayan, nambah nambah uang saku, pikir nya. Pak Herman mendidik sepuluh murid anak remaja, lima diantaranya pria dan sisanya wanita. Setelah mereka berdua sampai di meja khusus dokter, pak Herman mengumpulkan anak didikannya.
''Semuanya, mari berkumpul!''
Murid murid segera menghentikan latihannya dan langsung berbaris rapih.
''Saya akan perkenalkan pada anda semua, untuk sementara dokter yang biasanya sedang berhalangan hadir, dan wanita ini merupakan anak nya. Jika kalian mempunyai keluhan rasa sakit, dokter ini akan menanganinya.''
''Boleh saya tau namanya?'' goda seorang pria.
Mova menjadi grogi, Mova masih sangat muda, bahkan bisa dibilang mereka masih seumuran. Mova memandang semua para murid, ia tersipu.
''ya, nama saya Alissa Galliamova. Saya akan berusaha lakukan yang terbaik untuk kalian semua.''
Paras yang cantik membuat pria pria ingin menggodannya. ''Dok, aku punya keluhan sakit hati, bagaimana cara mengatasinya?''
Semua murid tertawa setelah mendengar gurauan dari salah seorang temannya. Begitupun dengan Mova.
Namun, Mova ingin sekali menanggapi pertanyaan tadi. Ia menjawab. ''Jika kamu gak bisa mengobati rasa sakit, maka lupakanlah dia. Jika kamu gak bisa melupakannya, carilah penggantinya. Jika kamu masih belum dapat penggantinya, carilah kesibukan seperti bekerja atau melakukan hal yang membuat kamu tertawa. Satu lagi, jangan pernah kamu mengingat ingat si dia dengan kenangan kenangan masa lalunya.''
''Memangnya kenapa, dokter?'' serobot seseorang.
''Kamu akan gila!'' jawab Mova singkat.
Semua murid tertawa mendengarnya. Disisi lain, mereka kagum dengan jawaban Mova itu.
''Wah, ternyata dokter sangat ahli dalam bidang apapun. Yasudah, kalian semua boleh melanjutkan latihan. Jika ada yang cedera, jangan malu malu untuk menemui dokter ini.'' ucap Pak Herman pada muridnya.
Sesegera itu para murid melanjutkan latihan. Pak Herman segera berpamitan dengan Mova. Setelah meninggalkannya, Mova duduk di kursi yang sudah disediakan. Di meja, sudah tertaruh buku buku mengenai nama nama murid beserta kesehatannya. Ia membuka dan segera membacanya. Saat Mova sedang membaca baca, datanglah seorang murid wanita bernama Fani menghampirinya. Mova memandang wajah murid itu, berkeringat dingin dan wajahnya sungguh pucat.
''Dok...'' panggilnya.
''ya? Apa kamu mempunyai keluhan rasa sakit?'' Tanya Mova.
''Um... Begini.''
''Duduklah!''
Mereka duduk saling berhadapan. Si pasien itu selalu saja memegang Dadanya.
''Dada saya ini, entah kenapa suka tiba tiba terasa sakit, Dok.'' keluhnya.
''Apa saat sakit, dada anda bagaikan tertusuk tusuk dan berkeringat dingin?''
Ia menggangguk.
''Sakit yang anda derita merupakan gejala arteria koronaria.''
''Bagaimana dokter bisa menyimpulkan secepat itu?''
''Saya bisa menebak penyakit berdasarkan apa yang diderita pasien. Lagipula, disini gak ada cukup alat untuk memeriksanya. Saya hanya melakukan pertolongan darurat dan arahan saja pada pasien. Jika kamu gak percaya, kamu boleh memeriksanya ke rumah sakit.''
''Tapi, apa itu arteria koro... Koro apa tadi, dok?''
''Arteria Koronaria.'' Mova memperjelas.
''Ya, itu.''
''Arteria Koronaria merupakan gejala menyempitnya nadi tajuk. Nadi ini kecil dan dapat tersumbat. Jantung yang terus menerus kerja memompa darah ke seluruh tubuh, mendapat makanan dari nadi tajuk tersebut. Kalau hanya terjadi penyempitan, penderita cuma alami keringat dingin dan pucat saja.''
''Oh, begitu. Lalu, apa yang harus saya lakukan, dok?''
''hentikan latihan sekarang juga dan istirahatlah. Jangan lupa juga untuk selimuti badan anda agar tetap hangat. Bila perlu minumlah brandy untuk melancarkan aliran darah kamu.''
''T- tapi...''
''Tenang saja, aku akan bicarakan ini pada pelatih. Aku juga akan membuat catatan kesehatan kamu dan memberikannya pada pelatih.''
Sejenak terdiam si pasien itu. Ia merasa kecewa karena tidak bisa mengikuti latihan.
''begitu, ya. Mau bagaimana lagi. Makasih ya, dok. Aku permisi dulu.''
Mova menggangguk dengan senyum. Ia segera membuat catatan kesehatan pasien tersebut. Setelah itu, ia kembali membaca.
***
Ditengah malam ia berjalan seorang diri. Suasananya sungguh gelap. Semakin ia berjalan ke depan, semakin terdengar suara ombak dari kejauhan. Ia berjalan sempoyongan, ia belum makan dari pagi. Hatinya diselimuti dendam yang amat besar. Ia berkeringat, berjalan sejauh tiga kilometer hanya ingin menyendiri atau menenangkan pikirannya di pinggir pantai. Dipikirannya selalu terbayang bayang kalimat saudaranya itu.
''Va, kedua orang tua kamu mengalami kecelakaan di tol.''
Mendengar itu, Shiva hampir ambruk.
''Apa maksud kamu? Enggak mungkin.'' protes Shiva.
''Saat itu hujan turun dengan sangat deras, Va.'' saudaranya itu menjelaskan seolah membujuk Shiva agar mau mengerti.
''Baru tadi sore kami makan bersama sama dirumah. Mereka dalam keadaan baik baik saja. Lalu apa yang membuatnya mengalami itu? Enggak mungkin. Siapa yang sudah membuat orang tuaku kecelakaan, cepat katakan!'' Teriak Shiva. Ia masih belum percaya dengan apa yang diucapkan saudaranya itu.
''Enggak ditabrak. Rupanya mobil yang dikendarai Ayahmu itu menabrak pagar pembatas dan terjun ke jurang. Mobilnya ringsek.'' lanjut saudaranya tanpa kasihan.
Mendengar itu. Tubuhnya gemetaran, ia menjadi lemah dan terjatuh ke lantai dengan berlinangan air mata.
Mengingat tragedi yang lalu membuatnya ingin sekali mengakhiri hidupnya. Sudah tidak ada lagi keceriaan, kebahagiaan, ketentraman dihidupnya yang sekarang. Ia berjalan tanpa memandang kedepan, kepalanya selalu menghadap ke bawah. Ia sudah tidak peduli lagi dengan apa yang ada didepannya. Mau tertabrak mobil, jurang atau mungkin sebuah paku yang menembus kakinya itu, sudah tidak peduli.
Bu, Ayah, besok adalah hari pertama kali aku masuk sekolah. Temen temen ku semuanya sudah pada punya tas baru, seragam baru dan juga buku baru. Apa Ayah dan Ibu gak belikan aku juga? Aku juga kan mendapatkan ranking ketiga. Ayah kan sudah janji kalau aku berada di ranking satu sampai tiga, Ayah akan membelikanku tas baru. Apa Ayah lupa?
Mana mungkin ayah lupa, benar kan, Bu? Anakku mendapatkan ranking tentu harus dirayakan. Memangnya anakku yang pintar ini mau dibelikan apa saja? Sebut saja.
Um, aku mau tas, sepatu dan juga jam tangan.
Iya, nanti Ayah dan Ibu akan membelikannya.
Asik! Makasih.
Kalimat itu sungguh membuat hati tertusuk. Ia selalu menyalahkan dirinya sendiri.
Seandainya, seandainya dan seandainya. Aku sendirilah yang membuat hidup ku jadi begini. Apa salahku saat aku masih kecil dulu? Kenapa engkau tega mengambil nyawa orang yang kusayangi?
Shiva duduk dibawah pasir pantai yang lembut. Ia terdiam termenung memandang air laut yang luas didepannya. Siapakah yang harus aku disalahkan? Pada siapa aku harus marah?
Ayahku? Yang menyetir tidak hati hati. Aku? Yang sudah menyuruhnya membeli Tas. Atau... Tuhan?
Tidak! Aku gak berani menyalahkan Tuhan. Semuanya ada pada genggamanNya. Kita semua hanya butiran pasir bagi Nya.
Tetapi kenapa Engkau tega melakukan ini padaku?
Shiva berbaring dibawah pasir. Memandang langit yang penuh dengan bintang bintang. Seketika rasa laparnya hilang setelah melihat keindahan langit dipadukan dengan angin yang bertiup sepoi menyentuh kulitnya. Tubuhnya direbahkan, membuatnya merasa nyaman. Andai aku menjadi salah satu dari bintang itu. Mungkin aku tidak akan pernah merasakan keputusasaan, balas dendam dan kekecewaan seperti yang aku rasakan saat ini.
Bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar